Simfoni Patetik Diyanto
Dalam karya Diyanto, jejak-jejak kehidupan dan masyarakat terlihat menggoreskan diri mereka pada kanvas. Diyanto menjadi penyalur emosi zaman yang kacau-balau, menjadi antena nurani yang menyerap peristiwa-peristiwa, bencana, dan penderitaan dengan segala kegetiran, kemarahan, dan ketidakberdayaan. Ini terutama tampak pada periode awal ia berkarya, sekitar 1987-1989, periode “Kasidah Izrail”. Ia menjadikan ruang gawat-darurat rumah sakit Ranca Badak (kini Hasan Sadikin) sebagai semacam basecamp tempat ia mengamati derita dan ketidakberdayaan manusia. Dia merekam kehidupan manusia yang sekarat karena terbakar, korban penembakan misterius ("Petrus"), korban tabrakan kereta, dan penderitaan lainnya. Dalam periode ini, Diyanto melepaskan diri dari formalisme dan mengungkapkan kepanikan yang terjadi. Karya-karyanya pada periode ini cenderung berdarah.
Pada periode 1990-1998 sebelum reformasi, Diyanto semakin terlibat dengan dunia teater dan menemukan cara baru dalam berkarya, yaitu melalui kerja intertekstual dan mixed media. Situasi sosial-politik yang bergejolak pada saat itu membuatnya menyampaikan sikapnya melalui berbagai media secara bersamaan, menciptakan simfoni tragis yang keras dan mengerikan. Setelah masa reformasi, kondisi pasca-reformasi juga memiliki kekacauan sendiri. Ketika penguasa tunggal tidak ada lagi, muncul anarki dan setiap orang menjadi ancaman bagi yang lainnya. Diyanto mengalami benturan antara perspektif Barat yang diperolehnya dari teater STB dan ekspresionisme Jerman dengan perspektif eksperimental dari teater SAE. Namun, situasi ini menjadi peluang baginya untuk menemukan kembali makna dirinya.
Sejak itu, Diyanto mulai mengabaikan batasan formal antara seni rupa, seni pertunjukan, dan sastra. Dia fokus pada "realitas kedua", yaitu berbagai teks yang muncul dari benda-benda, pertunjukan, puisi, atau imaji di media sosial. Karyanya menjadi lebih hidup dengan warna-warna cerah, beragam media campuran, dan kombinasi figur antara kekacauan dan kegilaan. Karya-karyanya pada periode ini memiliki aura dan misteri yang mirip dengan karya Hieronimus Bosch dan Pieter Bruegel. Mereka mencerminkan skizofrenia massal yang patetik. Ini mencerminkan situasi kita di Indonesia dan di seluruh dunia saat ini.
- Bambang Sugiharto